Mohamad Ali.
Mohamad Ali Nama lengkap beliau Mohamad Ali Firman Alamsyah lahir pada tahun 1896 di Asam Kumbang, Painan Sumatera Barat, pendidikan beliau Gouvernements Vervolgsschool di Indrapura PesisirSelatan Sumatera Barat. Pada Tahun 1925 menjadi juru tulis Marga Ketahun, selanjutnya 1935 Pasirah Marga Ketahun, Akhir 1947 menjadi Pangeran Marga Ketahun dan pada Tahun 1949 diangkat menjadi Camat Kecamatan Ketahun-Sebelat berkedudukan di Napal Putih. Beliau lebih dikenal sebagai Camat Perang dimasa Repolusi, berjuang melancarkan Perang kemerdekaan melawan Belanda, bergabung dengan Gubernur Militer Dr. A.K. Gani. Tahun 1951 Assisten Wedana, 1955 Assisten Wedana/Pemimpin rapat besar Kewedanaan Muko-muko di Muko-muko ( Bidang Kehakiman ).
Pada Tahun 1977 beliau Pensiunan Assisten Wedana berdomisili di Dwi-Tunggal, Curup. Tutup usia di Curup, Rejang/Lebong dimakamkan di pemakaman umum Dwi-Tunggal ( Belakang Lembaga Pemasyarakatan Curup ). Nama lengkapnya hampir tidak pernah beliau memakainya, pangilan akrab hingga akhir hayatnya : Pangeran Mohamad Ali.
Prof. Sutan Mohammadsjah
Prof. Sutan Mohammadsjah lahir pada tahun 1912 di Kupang, Nusa Tenggara Timur. ia adalah putra dari Nazaruddin gelar Sutan Saidi, keturunan Raja Hidayat dan Tuanku besar Sutan Salim. Sutan Mohammadsjah lebih tertarik pada bidang Hukum, sehingga pada usia 22 tahun ia sudah menggondol gelar Meester in de Rechten (Sekarang sarjana Hukum) dari Rechts Hooger School di Jakarta.
karena lebih tertarik pada bidang pendidikan, maka ia memeilih pekerjaan sebagai pengajar Ilmu Hukum di Perguruan Tinggi dan diangkat sebagai Profesor pada tahun 1958. ia pernah menjadi Dekan di Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang, Jabatan terakhir yang disandangnya adalah sebagai Rektor Universitas Nusa Cendana di Kupang, sebuah Universitas Negeri di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Ia berada di sana sampai akhir hayatnya, tahun 1983.
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Alisjahbana gelar sutan Arbi mempunyai banyak putra-putri, salah seorang yang terkenal baik dalam skala nasional maupun internasional adalah Sutan Takdir Alisjahbana atau lebih dikenal dengan singkatan STA.
dalam buku saku berjudul Sutan Takdir Alisjahbana dan hasil karyanya, terbitan Dian Rakyat, tercantum daftar jabatan, judul buku berbagai kegiatan, serta tanda penghargaan yang pernah diterimanya. karangan dalam bidang bahasa yang ditulisnya sejak tahun 1930 – 1986 berjumlah lebih kurang 108 buah judul, sedangkan karangan atau buku-buku yang ditulisnya dalam bidang-bidang lain seperti roman, puisi, filsafat, pendidikan dan kebudayaan, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing jumlahnya lebih dari 150 judul. belum lagi sejumlah jabatan yang pernah dipegangnya dalam berbagai organisasi yang bersifat nasional maupun internasional. Takdir memang seorang tokoh besar dalam bidang bahasa, sastra dan filsafat.
Jabatan Rektor Universitas Nasional baru diletakkannya pada hari ulang tahunnya yang ke-85, 11 Februari 1993, tubuhnya masih tegap, tidak ada kelebihan lemak, tidak juga ada keluhan mengenai kesehatannya.
Sutan Takdir Alisjahbana dilahirkan di Natal, pada tanggal 11 Februari 1908. ibunya bernama Puti Samiah, seorang wanita Natal, ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan Sutan Sjahrir sebagai saudara sepupu karena mereka sama-sama keturunan Sutan Kabidun, putra Tuanku Besar Si Intan (Sintan).
tidak banyak yang dapat diceritakan oleh Tadir tentang kota kelahirannya, karena sejak berusia empat tahun ia sudah diajak merantau. Sebagai seorang guru, ayahnya, Sutan Arbi pernah ditempatkan di Cunangka, lalu dipindahkan ke Curup, Kerkap, dan Ipuh, kota-kota kecil yang terletak dekat Muko-muko. sekarang kota-kota ini masuk dalam wilayah Propinsi Bengkulu. Ia hanya ingat cerita ibunya ketika ia masih kecil, bahwa di Natal banyak ditemukan emas yang didulang oleh penduduk. menurut ibu, jika menjemur emas laksana menjemur padi. ada sebongkah emas yang kemudian di jadikan kalung oleh ibu.
Rumah mereka di Natal terletak di tepi sungai Batang Natal yang secara alami telah dihanyutkan banjir beberapa tahun lalu. lantai bangunannya berbentuk panggung tradisional dengan tiang-tiangnya yang tinggi. diantara lantai bangunan dan tanah terdapat ruang kosong. dihalamannya, terdapat pohon-pohon bambu yang rindang. jika ibu mencuci di tepian sungai, Takdir kecil sering bermain-main di dekatnya, dibawah naungan pohon bambu.
sejak meninggalkan Natal, Takdir belum pernah menginjakkan kakinya lagi di tanah kelahirannya, ketika mengikuti sebuah kongres di Medan, beberapa tahun yang lalu, ia pernah berniat mengunjungi Natal. Taksi sudah di sewa, ia pun sudah menuju Natal dan telah berjalan cukup jauh. sampai di jalan buruk yang sulit dilalui, taksi yang ditumpanginya rusak. rencana kunjungan ke Natal menjadi batal karenanya.
hubungan Takdir dengan ibunya sangat dekat dan hangat. Ketika mereka berpisah, usianya masih muda karena ia harus belajar di tempat yang jauh. mula-mula ia bersekolah di Bengkulu, kemudian Lahat, di Muara Enim dan teakhir di Bandung. di Bandung, ia masuk sekolah guru dan berhasil menamatkan sekolahnya pada tahun 1928. setelah itu ia diangkat menjadi guru dan ditempatkan di Palembang. pada waktu Surat Keputusan pengangkatannya keluar, ia meminjam gajinya selama 3 bulan pertama untuk membeli pakaian dan sepeda. hanya sebagian yang terpakai dan sisanya dikirimkan kepada ibunya di Bengkulu. betapa hancur hatinya, ketika seorang sepupu dari Bengkulu datang mengabarkan, bahwa ibunya telah meninggal dunia. uang yang dikirimkannya digunakan untuk biaya pemakaman. Ia benar-benar terpukul dan menangisi kepergian ibu sampai akhirnya ia terkena penyakit jantung. cuti sakit selama 3 bulan di berikan oleh sekolah tempatnya mengajar karena ia harus berobat ke Bandung. setelah 3 minggu dirawat di rumah sakit kesehatannya mulai membaik. kesempatan ini dipergunakan oleh Takdir untuk menyelesaikan roman yang sudah lama digarapnya, berjudul Tak Putus Dirundung Malang. naskah tersebut kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Takdir merasa, pekerjaan sebagai seorang guru tidak cocok baginya karena ia tidak cukup memiliki kesabaran. ia sering kali menampar murid-muridnya sehingga orang tua murid-murid tersebut mengadu ke sebuah majalah. pada tajuk berita, ditulis tentang ulah Takdir dengan judul 'Guru yang Ganas'. hingga Takdir memutuskan meninggalkan pekerjaannya sebagai guru, dan pindah ke Balai Pustaka sebagai redaktur.
ketika berusia 20 tahun, STA berhasil menyelesaikan 3 buah roman masing-masing Dian Yang Tak Kunjung Padam, Anak Perawan di Sarang Penyamun, dan Layar Terkembang. pada tahun 1935, takdir ditinggalkan untuk selamanya oleh isteri pertamanya, Raden Adjeng Rohani Daha, yang meninggalkan tiga orang anak yang masih kecil dan yang paling kecil ketika itu masih bayi, sehingga ia harus menjadi ayah dan ibu sekaligus.
sepeninggal istri pertamanya, Takdir menikah lagi dengan Sugiarti, seorang gadis Jawa yang berpendidikan tinggi. ia pernah belajar di negeri Belanda dan menguasai beberapa bahasa asing. dalam sebuah kunjungan ke Amerika Serikat, istrinya meninggal dunia. dua anak perempuan yang ditinggalkannya baru berusia enam dan tiga setengah tahun. untuk kedua kalinya Takdir harus memikul peran ganda sebagai seorang ayah dan sekaligus seorang ibu dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Pada sebuah kongres penulis diseluruh dunia, Takdir menikah lagi dengan seorang wanita Eropa yang dijumpainya dalam kongres tersebut. sudah lama ia “bertualang” dalam alam pikiran Eropa dan bertekad menguasai kebudayaannya. Dr. Margret Axer, yang ketika itu menjadi redaktur kebudayaan sebuah surat kabar di Jerman, adalah seorang ahli bahasa, serta ahli sastra Jerman dan Inggris. dari perkawinan mereka dikaruniai empat orang anak.
dari sembilan orang anak Sutan Takdir Alisjahbana, dua orang diantaranya menjadi tokoh masyarakat. yang pertama, Iskandar Alisjahbana, seorang cendikiawan; dan Sofyan Alisjahbana, pemimpin sebuah perusahaan penerbitan yang sukses.
Adapun keluarga, istri dan anak-anak Sutan Takdir Alisjahbana yaitu :
1. Samiati Alisjahbana, Alm.
2. Iskandar Alisjahbana
3. Sofyan Alisjahbana
Adalah anak-anak STA dari hasil perkawinannya dengan Raden Ajeng Rohani Daha, tahun 1929. pada tahun 1935, istrinya meninggal di Jakarta.
4. Mitra Alisjahbana
5. Sri Artaria Alisjahbana
Adalah anak-anak STA, dari perkawinannya dengan Raden Roro Sugiarti, tahun 1941. Raden Roro Sugiarti meninggal di Los Angeles, Amerika Serikat; pada tahun 1952
6. Tamalia Alisjahbana
7. Marita Alisjahbana
8. Marga Alisjahbana
9. Mario Alisjahbana
Empat anak-anak hasil perkawinan STA dengan Dr. Margret Axer pada tahun 1953 di Bonn, Jerman Barat. Istrinya meninggal pada tanggal 15 Maret 1994.
ketika istrinya mulai jatuh sakit, Takdir meminta adiknya, Puti Balkis Alisjahbana untuk mengurus rumah tangga STA. meskipun tampak lelah dan harus banyak beristirahat sambil berbaring di kursi panjang di ruang tamu rumahnya sambil membaca atau beristirahat. di ruang tamu ini juga STA menerima tamu-tamunya; kebanyakan dari kalangan mahasiswa, wartawan yang sudah kenal dengannya, dan tokoh-tokoh dari kalangan intelektual baik orang Indonesia maupun dari luar negeri. adik STA inilah yang mengatur pertemuan dengan para tamu Takdir. Sepanjang ingatannya, kakaknya tidak pernah menolak siapapun.
pada pertemuan itu tampak perubahan sikap pada STA, suaranya kedengaran tegar dan lantang. seolah-olah bukan dia yang berbicara, namun seorang yang masih muda yang melontarkan pikiran dan gagasan dengan penuh keyakinan. ia menyinggung demikian banyak pokok dan masalah seperti bidang kebudayaan, sastra, filsafat dan banyak lainnya hingga politik, termasuk impiannya agar Indonesia menjadi sebuah negara yang maju dan makmur, sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Yang paling banyak ia singgung adalah soal bahasa Indonesia, yang menurutnya, tidak berkembang, malahan merosot dengan terbentuknya kata-kata singkatan dan pengaruh dari bahasa asing.
Obsesi yang lain ialah keinginannya untuk mendirikan sebuah yayasan bertaraf internasional dalam bentuk semacam hadiah Nobel, yang secara berkala menghadiahkan sejumlah uang yang cukup besar, misalnya untuk seorang penulis terbaik atau seseorang yang dianggap berjasa bagi kemanusiaan. Begitu banyak yang ingin ia lakukan… dan waktunya sudah menipis "So much to do… and time is running out!"
di hari tuanya, Takdir sangat tekun menjaga kondisi tubuhnya, misalnya dengan menyusun sendiri menu sehari-hari, memilih sayuran dan buah-buahan disamping makanan bergizi lainnya. ia juga sangat berdisiplin menjalankan perintah dokter, seperti meminum atau menelan bermacam-macam vitamin serta obat-obatan. ia juga tida pernah mengabaikan olah raga yang ketika itu hanya berjalan-jalan di pagi hari di sekeliling pekarangan rumahnya. kebiasaan berenang telah ditinggalkannya beberapa bulan sebelumnya karena sudah tidak kuat.
menurut Puti Balkis Alisjahbana, Takdir adalah seorang ayah yang galak, berdisiplin serta sangat mengagungkan kejujuran diatas segalanya. kepada keluarganya diperkenalkan dengan sistem “bonus” untuk prestasi yang berlebih. jika angka-angka di rapor lebih tinggi dari enam, maka akan diberikan hadiah. jika angka rata-rata lebih dari enam, hadiah yang diberikan juga lebih besar, apalagi jika semua angka-angka di rapor nilainya baik sekali, hadiahnya pasti amat besar.
Sutan Takdir Alisjahbana meninggal pada 17 Juli 1994 di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta. Sebelum STA menutup mata, ia ingat akan tempat kelahirannya, Natal; beberapa tahun yang lalu ia pernah mencoba pergi ke Natal dengan mobil sewaan dari Medan, tetapi mobil itu mengalami kerusakan dan rencana mendatangi kota Natal terpaksa di batalkan. STA juga tertarik pada Materai Di Raja dari kerajaan Lingga Bayu, Ranah Nata, yang bertuliskan Aksara Arab yang menyebutkan bahwa kakek buyut keluarga Sutan Takdir sebagai salah seorang raja Natal di masa lalu. STA juga memperlihatkan materai tersebut kepada seorang sahabat dekatnya, Drs. Abu Hasan untuk mengetahui lebih banyak tentang apa yang tertera di materai kuno itu. pada kesempatan lain, Takdir juga menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan seseorang yang lebih tahu tentang Natal, STA juga berkeinginan mengembangkan sayap perusahaan keluarganya di sana. paling tidak membeli tanah yang cukup luas dipinggir pantai atau membeli rumah untuk melakukan sesuatu di Natal dalam bentuk usaha-usaha. hal tersebut juga disampaikannya kepada anak-anaknya yang paling bungsu, Mario dan Tamalia.
sebulan kemudian setelah berpulangnya STA, tepat pada 15 Agustus, 1994 istri ke tiganya Margret Axer menyusul suaminya ke alam baka, setelah beberapa lama menderita penyakit jantung. Margret dimakamkan di tempat yang sama dengan suaminya, di halaman rumah peristirahatan mereka sendiri di Tugu, Cisarua, Bogor; atas kehendak mereka berdua yang disampaikan kepada anak-anak mereka beberapa waktu sebelum meninggal dunia.
Takdir sangat mencintai bahasa Indonesia, ini dapat dilihat dari karya-karya yang disumbangkannya. pada waktu Jepang berkuasa, Takdir dan sekretarisnya, Suwandi, mendirikan Komisi Bahasa Indonesia. Takdirlah yang diangkat menjadi sekretaris ahli. Dua tokoh pejuang yaitu Subadio Sasrosatomo dan Miriam Budiardjo ikut bergabung. mereka resah dan khawatir memikirkan niat bangsa Jepang yang pasti akan memaksakan pemakaian bahasa Jepang kepada Bangsa Indonesia dan hal itu tentu harus dicegah sejak dini.**
Sutan Alisjahbana gelar Sutan Arbi
Sutan Alisjahbana atau Sutan Arbi berasal dari Natal, sama seperti leluhurnya. Mereka merantau ke Tengah Padang (di daerah Bengkulu), karena Pemerintah Kolonial Belanda mengasingkan Sutan Mohammad Amin, kakek buyutnya ke sana. Sedangkan gelar Raden pada namanya diperoleh dari kesultanan Yogyakarta, karena adik ipar Pangeran Sentot Alibasjah yang bernama Raden Ayu Siti Hawa (isteri Sutan Mohammad Amin) adalah seorang putri yang berasal dari kraton Yogyakarta, ia ikut keluarganya yang tengah diasingkan di Bengkulu. Gelar Raden tersebut dianugerahkan juga oleh kraton Yogyakarta kepada Sutan Arbi atas jasa-jasanya memelihara makam Pangeran Sentot Alibasjah.
Sebagai seorang yang dilahirkan menjelang akhir abad ke-19, beliau banyak mengetahui kehidupan dan perjuangan rakyat Indonesia pada awal abad XX. ia merasa beruntung karena dapat ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan menyaksikan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. di Bengkulu. Sutan Arbi juga dikenal sebagai orang yang kuat agamanya, dan pernah menjadi Imam Besar Masjid Jamik.
berbeda dengan ayah dan kekeknya, tokoh ini tidak pergi ke Mekkah untuk mendalami ilmu agama, tetapi bekerja sebagai guru sekolah umum milik pemerintah Belanda dan bermukim di daerah yang dahulu disebut Tengah Padang, di Bengkulu. sebagai seorang yang terjajah, tentu saja sutan Arbi mengalami perlakuan yang tidak adil dari pemerintah kolonial. sebagai contoh, ada beberapa tempat atau hal-hal tertentu yang tidak boleh diikutinya hanya karena warna kulitnya coklat atau karena kedudukan sosialnya sebagai warga dari bangsa yang terjajah dianggap rendah. kenyataan tersebut amat menyakitkan hatinya dan sangat dibencinya.
Sutan Arbi yang benci kepada Belanda ingin menunjukkan kepada orang-orang Belanda bahwa orang-orang pribumi bisa juga bergaya hidup seperti mereka. Sutan Arbi menjual sebagian tanah miliknya hanya untuk bisa unjuk gigi di depan Belanda. hasil penjualan tanah tersebut cukup bayak. setelah uang diterimanya, anak-anaknya mempercakapkan ayah mereka sebagai orang kaya yang setara dengan orang-orang Belanda yang berada di Bengkulu saat itu.
Sebagian besar uang hasil penjualan tanah itu, dipergunakan oleh Sutan Arbi untuk memasuki societeit atau bisa disingkat SOOS, semacam klub atau perkumpulan khusus orang-orang Belanda yang berkedudukan tinggi. tidak setiap orang Belanda dapat diterima memasuki klub ini. oleh sebab itu, orang Belanda yang dapat diterima sebagai anggota SOOS, dipandang mempunyai gengsi yang lebih tinggi. para anggotanya mempunyai tempat-tempat khusus untuk duduk-duduk berkumpul, berbincang, minum-minum atau melakukan olahraga sehingga dapat mempererat hubungan sosial mereka. biasanya mereka akan dapat memperoleh manfaat dari keanggotaan SOOS tersebut. salah satu syarat untuk menjadi anggota SOOS ialah membayar sejumlah uang tunai yang cukup besar, walaupun calon anggotanya orang Belanda, tetap diberlakukan pemilihan berdasarkan status sosial seseorang, apalagi orang Melayu.
Setelah menjadi anggota SOOS, tidak jelas keterangan apakah Sutan Arbi juga ikut berdansa dan minum-minum. tetapi yang jelas Sutan Arbi menjadi sangat mahir memainkan biola dan bola sodok atau bilyar. Dengan memasuki komplek elite ini, Sutan Arbi diam-diam terlibat dalam kancah politik. kemampuannya berpidato dimuka umum benar-benar dimanfaatkannya untuk mempengaruhi situasi politik pada waktu itu.
PERTEMUAN DENGAN Ir. SOEKARNO
Dihari tuanya, saat Sutan Arbi masih menjabat sebagai Kepala Sekolah di Bengkulu, pada tahun 1938, ia bertemu dengan seorang Tahanan Politik dari pulau Jawa bernama Ir. Soekarno yang diasingkan pemerintah kolonial Belanda ke Bengkulu. Ia kemudian lebih dikenal dengan sebutan Bung Karno, salah seorang dari dua tokoh tokoh Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Begitu berkenalan, Sutan Arbi langsung akrab dengan Bung Karno, walaupun perbedaan usia mereka terpaut jauh. Bung Karno yang usianya 28 tahun lebih muda “memanggil” Sutan Arbi dengan sebutan Romo yang berarti ayah. bagi masyarakat Jawa, sebutan tersebut sangat halus dan mencerminkan rasa hormat. mereka selalu tampak bersama mulai dari pergi memancing, bertamasya ke tempat-tempat yang indah dan sejuk bahkan berburu ke hutan atau hadir dalam kegiatan-kegiatan yang sering diperingati oleh keluarga Indonesia waktu itu. mereka biasanya memegang peranan penting dalam setiap peringatan-peringatan yang bersifat Nasional.
Asm’aulkhaeri adalah salah seorang putri Sutan Arbi yang tetap tinggal di Bengkulu sampai Sutan Arbi meninggal dunia. Ia mengenang, selain persamaan hobby, antara Sutan Arbi dan Bung Karno terdapat persamaan yang sangat menonjol, yaitu sama-sama mempunyai keahlian berpidato. cara penampaian pesan-pesannya sangat memikat, mereka berbakat menjadi orator. bahkan dikemudian hari Bung Karno dikenal sebagai orator yang ulung. Ia mampu berpidato berjam-jam lamanya tanpa teks. begitu juga dengan Sutan Arbi. disamping itu, mereka juga menyukai kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, apalagi Bung Karno sering melibatkan Sutan Arbi dalam berbagai acara yang bersifat keagamaan.
Pada tahun 1948, Sutan Arbi wafat dalam usia 75 tahun dengan status pensiunan Pegawai Negeri. beberapa tahun kemudian Asma’ulkhaeri memboyong adik-adiknya ke Jakarta sambil mengurus pensiun ayahnya. ternyata, pengurusan pensiun tersebut sangat sulit. Asma, begitu ia biasa dipanggil, meminta bantuan kepada sahabat dekat ayahnya, yaitu Bung Karno yang ketika itu telah menjadi Presiden Republik Indonesia. tentu saja tidaklah mudah menemui sang Presiden. Sebagai orang terpenting di Indonesia, berlapis-lapis pasukan keamanan menjaga dan mengurus berbagai keperluannya. kali ini Asma seperti menemui jalan buntu karena tidak ada orang yang bersedia mempertemukannya dengan Bung Karno. sampai pada suatu hari, ketika Bung Karno sedang memimpin rapat di Istana, Asma datang lagi, seorang staf keamanan mencegahnya menemui Bung Karno, lalu Asma menyerahkan sebuah catatan kecil kepada penjaga untuk disampaikan kepada Bung Karno, “Kalu begitu, tolong sampaikan ini kepada beliau, sekarang. saya akan menunggu panggilan disini”, kata Asma yang merasa pasti bahwa ia akan dipanggil oleh Bung Karno. tidak sampai sepuluh menit kemudian, seorang staf lain keluar dari ruang rapat dan berpesan agar Asma menunggu sampai rapat selesai, karena Bung Karno ingin menemuinya. begitu rapat selesai, Bung Karno langsung menemui Asma dan berbicara dengan hangat bagaikan seorang bapak terhadap anaknya yang sudah lama tidak bertemu. lalu Bung Karno membuat catatan kecil dan memerintahkan kepada ajudannya untuk mengantar dan mengurus kepentingan Asma sampai selesai. dalam waktu beberapa hari, Asma menerima tunjangan dari Departemen Sosial dengan catatan, bila pemindahan pensiun sudah dapat dilaksanakan, tunjangan tersebut akan dihentikan.
Pada tanggal 1 Oktober 1965, surat keputusan pemindahan pensiun Sutan Arbi keluar. saat itu karier politik Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia mulai turun sehubungan dengan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September atau lebih dikenal dengan istilah G 30 S/PKI.
Rupanya bukan hanya Asma yang ingat akan persahabatan Sutan Arbi dengan Bung Karno, tetapi Bung Karno pun demikian. Hal ini terbukti ketika ia mengabadikan kenangannya terhadap Sutan Alisjahbana atau Sutan Arbi melalui bukunya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang ditulis oleh Cindy Adams, terbitan tahun 1965. pada halaman 138, tercantum kalimat yang terjemahannya sebagai berikut :
Kawanku satu-satunya. Ia seorang Kepala Sekolah Rakyat (kini disebut Sekolah Dasar) yang sering datang berkunjung. Ia selalu membawa seorang anak gadis kecil yang sering kupeluk di pangkuanku. Aku tidak pernah melupakan keramahannya. Ketika aku telah menjadi Presiden, kutanyakan kepadanya :
“Apa yang dapat kulakukan untukmu, saudaraku? Katakanlah keinginanmu.”
Temanku yang sedang menghadapi ajalnya itu menjawab:
“Tolonglah keluarga saya, dan jika saya pergi, lindungilah anak gadis saya.”
Pesan ini kupenuhi baik-baik.
“Aku bahkan mencarikan suami baginya,”
Tidak jelas, apakah Bung Karno keliru memberikan keterangan atau Cindy Adams yang keliru mengungkapkan cerita Bung Karno. Kenyataannya, Bung Karno memang mengulurkan tangannya, tetapi suami Asma bukanlah orang yang dicarikan oleh Bung Karno.
Menurut keterangan Asma, dalam bermain biola, Sutan Arbi senang sekali memainkan lagu-lagu Minang dan Melayu. Disamping itu, ia juga mahir menggunting dan menjahit pakaian pria. Menggubah pantun juga merupakan keahliannya. Sutan Arbi selalu berpantun jika menulis surat kepada anak-anaknya yang jauh di perantauan. bahasa pantun-pantun gubahannya yang halus namun dengan maknanya yang dalam.
Ketika Bung Karno akan menikah dengan gadis Bengkulu, Siti Fatimah yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ny. Fatmawati Soekarno. sebagai sahabat setia, Sutan Arbi ikut sibuk mengurus segala sesuatu untuk keperluan pernikahan tersebut. ketika pernikahan akan dilaksanakan pada tahun 1942, tiba-tiba Bung Karno dipindahkan ke Jakarta oleh Pemerintah Jepang yang baru saja menggantikan kedudukan penjajah Belanda. pernikahannya dengan Siti Fatimah yang masih berada di Bengkulu itu tetap dilaksanakan. Sutan Arbi termasuk orang yang paling sibuk mengurus perkawinan “gantung” sang tokoh Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia ini.**
Sutan Sjahrir
Berbeda dengan Sutan Takdir Alisjahbana, Sutan Sjahrir tidak dilahirkan di Natal, ia dilahirkan di kota Padang Panjang yang sekarang termasuk ke dalam propinsi Sumatera Barat. ayahnya bernama Mohammad Rasad gelah Maharaja Sutan bin Sutan Leman atau Sutan Palindih. jabatan terakhir Sutan Palindih adalah Hoofd van Landraad (Jaksa Tinggi Pengadilan Negeri pada Pemerintahan Hindia Belanda) di Medan. ibunya bernama Puti Siti Rabi’ah, anak dari Sutan Sulaiman dengan Puti Johar Maligan. sedangkan Puti Johar Maligan adalah cucu Tuanku Besar Si Intan, raja ke-7 dari kerajaan Natal. jika ditarik garis ke atas berdasarkan garis keturunan ibu dari Sutan Sjahrir, dengan garis keturunan ibu dari Sutan Takdir Alisjahbana, terdapat tali persaudaraan. mereka sama-sama keturunan dari Sutan Kabidun, putra Tuanku Besar Si Intan. Jadi, nenek Sutan Sjahrir adalah Puti Johar Maligan, sedangkan nenek Sutan Takdir Alisjahbana adalah Puti Malelo. Sedangkan Puti Johar Maligan dan Puti Malelo adalah kakak beradik, putra-putri Sutan Kabidun.
selain kedudukannya sebagai Perdana Menteri Indonesia, ia juga menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. sejak kecil Sjahrir dikenal sebagai anak yang cerdas dan terpandai di sekolahnya. guru-guru dan teman-temannya mengenal Sjahrir sebagai anak yang periang, pandai bergaul dan lemah lembut. ia menyukai musik dan olahraga. Sutan Sjahrir menyadari, bahwa ia sebagai anak inlander (pribumi), kedudukannya direndahkan oleh orang-orang kulit putih. karena usianya masih muda ditambah dengan kecerdasannya yang luar biasa, ia dapat menyelesaikan sekolahnya di Universitas Leiden, di Belanda yang mengambil jurusan Hukum.
sejak usia masih sangat muda, Sjahrir sudah berpisah dengan ibunya. Pada usia 17 tahun ia harus merantau ke Bandung. Tiga tahun kemudian ia sekolah ke negeri Belanda. inilah yang menyebabkan Sjahrir “kehilangan” sentuhan ibu.
sejak masih sekolah di Algemeene Middelbare School (sekarang setingkan SMA) di Bandung, Sutan Sjahrir sudah aktif dalam berbagai perhimpunan pemuda. ia juga aktif mencari dana bagi sekolah-sekolah yang didirikannya. selain itu beliau sering meninjau desa-desa di Priangan, di Jawa Barat, dan daerah sekitar tempat kelahirannya di Padang Panjang.
selama belajar di negeri Belanda, Sjahrir tidak tinggal diam. sejak tahun 1929 - 1931, ia telah aktif dalam Organisasi Perhimpunan Indonesia, sebuah perkumpulan pelajar dan mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda. bersama-sama dengan Mohammad Hatta (wakil presiden Indonesia I), selain itu Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir ikut mendalami seluk-beluk Serikat Kerja Internasional. mereka pun ikut bekerja di International Transport Federation. di sanalah mereka bertemu dengan berbagai tokoh pemuda lainnya yang juga sedang berjuang untuk kemerdekaan negara mereka, seperti Jawaharlal Nehru. yang ketika itu sedang belajar di Inggris.
pada akhir 1931, atas permintaan Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir kembali ke Indonesia untuk mengemban sebuah tugas politik. kelak, setelah Hatta berhasi menyelesaikan pendidikannya di negeri Belanda, ia akan kembali ke Indonesia untuk memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI). Setelah itu, Sjahrir akan kembali lagi ke Belanda untuk menyelesaikan pendidikannya yang tertunda. PNI adalah sebuah organisasi politik yang didirikan oleh para pemimpin muda waktu itu. tujuannya untuk mencapai Indonesia merdeka.
ketika Sjahrir kembali ke Indonesia, ia membawa seorang wanita Belanda, Maria Duchateau, yang kemudian menjadi istrinya. Ia ingin menunjukka kepada orang-orang Belanda yang menjajah Indonesia, bahwa bangsa Indonesia manusia juga yang sama seperti mereka. sebagai bukti, ia mampu memperistri seorang wanita Belanda. pada waktu Sutan Sjahrir dibuang, pemerintah Belanda memulangkan istri Sjahrir ke tanah airnya. mereka berpisah secara resmi pada tahun 1947 di New Delhi yang disaksikan oleh Jawaharlal Nehru yang ketika itu sudah menjadi Perdana Menteri India.
pada awal pendudukan Jepang, di Semarang, di rumah kakak Sutan Sjahrir, Puti Balkis Alisjahbana bertemu dengan Lily, anak angkat Sutan Sjahrir. kakak Sutan Sjahrir, putri Sjahrizad adalah istri Prof. Djoehana Wiradikarta. ketika itu Sutan Sjahrir beserta anak-anak angkatnya berada di Sukabumi. ditempat kediamannya selalu ramai, termasuk orang-orang muda yang dinamis, kreatif dan cerdas.
Sjahrir merupakan tokoh yang penuh dengan keberanian, ketenangan dan rasa humor. Sutan Sjahrir baru memperoleh kepuasan besar jika dapat mendahulukan kepentingan umum. nasihat-nasihat yang selalu dipompakan kepada saudara-saudaranya ialah menetapkan tujuan hidup yang pasti dan cita-cita yang harus dicapai. sebaik-baiknya tujuan ialah tujuan untuk melayani kepentingan umum.
menjelang kematiannya, Sutan Sjahrir menjalani kehidupan yang getir, setelah mengorbankan segalanya demi kemerdekaan bangsanya, ia justru disingkirkan. ia bahkan dipenjarakan dengan tuduhan berkomplot hendak melakukan kejahatan. ia dipenjarakan hingga terkena stroke beberapa kali sampai tidak mampu berbicara. ironisnya, setelah meninggal dunia, ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional.
Hubungan Sutan Sjahrir dengan Natal.
Menurut Wahyunah Syahrir, suaminya sangat mengagumi ibunya. Pujian tentang ibunya sering didengar Sjahrir dari ayahnya. Ibunya berwatak teguh, tepat dalam bertindak, tidak emosional sekaligus berpandangan luas dan haus akan informasi aktual. Sjahrir pernah bercerita kepada istrinya tentang pengalamannya bersama ibunya :
Pada waktu saya berusia enam tahun, ibu ingin pergi berjalan-jalan. Kami pergi ke Aceh dengan kereta api. Hanya saya yang ikut serta. Pemandangan alam dan keadaan penumpang di sekelilingnya menarik perhatian ibu, pada suati saat, ibu membelai rambut saya dengan lembut. Saya menjadi terharu. Kehangatan dan kelembutan ibu jarang saya rasakan. Di rumah kami banyak tinggal anak-anak. Selain saudara-saudara saya, banyak juga saudara sepupu. Rumah kami ramai dan meriah. Ibulah yang biasa mengurus rumah secara teratur.
Walau beliau tidak dilahirkan di Natal, tetapi kerap disebut-sebutnya bahwa ibunya berasal dari Natal. dan untuk mengenang ibunya, nama Siti Rabi’ah diturunkan kepada nama anak perempuannya yang lahir pada tahun 1960.
Nyonya Siti Wahyunah Sjahrir, adalah seorang Sarjana Hukum tamatan Universitas Leiden tahun 1950. ia menikah dengan Sutan Sjahrir di Cairo pada tahun 1951. semasa pendudukan Jepang sampai tahun 1945, ia bekerja sebagai guru dan kemudian bekerja di kantor Sekretariat Perdana Menteri di Jakarta sampai tahun 1947.
pada bulan Juni 1947, ia pernah ditahan di rumah tahanan sementara Belanda yang melakukan serangan militer terhadap Indonesia di Linggasana, Linggarjati, Jawa Barat. Selama dalam tahanan, ia sering mengirim berita radio ke dalam dan luar negeri yang ditujukan kepada para pejuang dan pemerintah setempat yang ketika itu mengungsi ke hutan di Gunung Ceremai (Jawa Barat).
sekitar akhir tahun 1948 hingga awal tahun 1949, pada serangan militer Belanda kedua, Ny. Sjahrir berada di Singapura untuk mengikuti berbagai kegiatan perwakilan Republik Indonesia sambil memperkenalkan perjuangan Indonesia. pada tahun 1950 ia berangkat ke Belanda, selain untuk menyelesaikan studinya, ia juga aktif mengadakan ceramah-ceramah memperkenalkan pergerakan wanita Indonesia dan peranannya dalam perjuangan nasional.
menurut penuturan Ny. Sjahrir, bila masa dinasnya sebagai politisi berakhir, Sjahrir ingin melewatkan hari tuanya di kepulauan Banda. Ia ingin menulis. Hasrat itu tidak pernah terwujud, karena kesibukannya. Baru pada tahun 1973, Ny. Wahyunah Sjahrir bersama keluarga Mohammad Hatta dan Des Alwi dapat berkunjung kesana.
setelah kembali ke Indonesia, Ny. Sjahrir berkarier di bidang hukum. Ia tetap menjaga hubungan harmonis dengan keluarga dan anak-anak angkatnya dari Belanda. ia juga tetap berhubungan erat dengan kerabat suaminya, baik yang berasal dari Sumatera Barat maupun kerabat dari Natal yang sekarang bermukim di Jakarta.**
Idham
Idham lahir di Medan pada tahun 1918. ia adalah putra dari Puti Siti Ratna Djuwita, anak Marah Palangai gelar Sutan Intan keturunan Tuanku Besar Si Intan, Raja Natal ke-7. di jaman penjajahan Belanda, Idham bekerja sebagai analis di Proefstation West Java di Bogor. sesudah Indonesia merdeka, ia bekerja di Kementerian Luar Negeri, menjabat sebagai kuasa usaha Republik Indonesia di Pakistan dari tahun 1947 sampai tahun 1950. sekembalinya ke Indonesia, ia diangkat sebagai anggota Panitia Pembelian Perlengkapan Angkatan Darat.
sejak tahun 1955, ia mendirikan perusahaan Asuransi Bintang dan Bank Niaga, menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris. Ia mempunyai dua orang adik perempuan, Siti Chadidjah Djuwita dan Siti Isnaniah.
Sultan Zainul Arifin Arbi
Lahir di Natal pada tahun 1906, Sutan Zainul Arifin Arbi adalah salah seorang anak dari Sutan Alisjahbana gelar Sutan Arbi. Saat Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dan Belanda yang diadakan di Den Haag tahun 1949, ia bertindak sebagai penerjemah. pada tahun 1952, ia menjabat sebagai Asisten Sekretaris Parlemen (sekarang, DPR). Kemudian berhenti atas permintaan sendiri.
Prof. Sutan Zanti Arbi
Lahir di Medan pada tahun 1930. ia adalah putra dari Sutan Zainul Arifin Arbi. Ibunya bernama Incik Adnin, saudara sepupu Sutan Zainul Arifin Arbi, yang juga berasal dari Natal. Incik Adnin adalah keturunan Puti Johar Maligan. bersama-sama dengan Prof. Isrin, Prof. Sutan Zanti Arbi mereka mendirikan IKIP Padang. ia juga seorang guru besar di UNIP dan Asisten Rektor IKIP Padang. Jabatan ini disandangnya sampai ia meninggal dunia pada tahun 1991.
Dr. Ir. Nitza Arbi
Lahir di Medan pada tahun 1933. Prof. Nitza Arbi adalah adik kandung Prof. Sutan Zanti Arbi. Sejak tahun 1965, Prof. Nitza Arbi bekerja di Universitas Andalas, Padang, sebagai Dosen. pada bulan Agustus 1990, ia diangkat sebagai Rektor UNIB (Universitas Bengkulu).
Dr. Muchtar Hamzah
Dr. Muchtar Hamzah adalah putra dari Sutan Hamzah dan Siti Dewi, keturunan Tuanku Besar Sutan Salim dan Raja Hidayat dari Rumah Gadang Pangka Manggih. ia dilahirkan di Waingapu, Nusa Tenggara Timur, pada tanggal 20 Mei 1934. ketika ia berumur 5 tahun, keluarganya meninggalkan Natal menuju Jakarta. sesudah menyelesaikan pendidikan SMA di Jakarta, ia melanjutkan sekolahnya ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan lulus sebagai dokter pada tahun 1961. kemudian ia bekerja sebagai asisten dosen sambil melanjutkan studinya hingga lulus sebagai sepesialis pada tahun 1964. oleh Pemerintah ia pernah ditugaskan ke Bali dan Irian Barat.
Dr. Muchtar Hamzah menikah dengan Ayu Agung Rayati dari Cirebon, beliau dikaruniai empat orang putri. pada tahun 1971, ia diangkat sebagai kepala Bagian sampai tahun 1980. lalu menjabat sebagai Ketua Program Studi, mengajar di Universitas Indonesia, Universitas Yasri juga berdinas di Rumah Sakit Cipto serta Rumah Sakit Kanker Darmais.
Sutan Bachtiar Hamzah
Sutan Bachtiar Hamzah lahir pada tanggal 26 Februari 1926 di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Ia adalah putra dari Sutan Hamzah dan ibu Siti Dewi, keturunan Tuanku Besar Sutan Salim dan Raja Hidayat. ia adalah saudara kandung Dr. Muchtar Hamzah. ayahnya menjabat sebagai Jaksa di Waingapu dari tahun 1914 sampai 1937.
Sutan Bachtiar adalah karyawan Pegawai Negeri Sipil DKI. Pada tahun 1976, ia diangkat sebagai kepala Kependudukan DKI Jakarta sampai memasuki pensiun, tahun 1982. pada tahun 1973, Gubernur DKI menugaskannya ke Belanda, Inggris, Prancis, Belgia, Hongkong dan Muangtai dalam rangka mempelajari komputerisasi kependudukan dan mengadakan studi perbandingan. walaupun sudah pensiun, pada tahun 1985, ia dipekerjakan kembali sebagai staf ahli Wakil Gubernur DKI bidang Ekonomi dan Keuangan. ia ditugaskan pada Badan Kerja Sama Antar Kota Seluruh Indonesia (BKSAKSI), yang merupakan wadah / media koordinasi konsultatif serta jembatan pembawa aspirasi kota yang bertujuan mengatasi masalah perkotaan, yang diketuai oleh Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta.
Sutan Bachtiar menikah dengan Ina Sastradijaya dari Banten dan dikaruniai tiga orang putra dan seorang putri.
Masih banyak riwayat kehidupan Tokoh-tokoh Budaya yang menonjol, namun karena keterbatasan yang ada, maka hal ini belum sempat tertuangkan disini.**
Hikayat-Tokoh-Budaya" pada blog ini diambil dari <Reyz_blog> sebagian besar menyadur tulisan dari Puti Balkis Alisjahbana.